Review DOTA 2: Versi yang Lebih Sempurna!


     Sebuah mod yang berhasil menarik hati jutaan gamer di seluruh dunia, Defense of The Ancients (DOTA) memang menjadi fenomena tersendiri. Mengubah mekanik awal yang ditawarkan oleh Warcraft III, IceFrog menyuntikkan sensasi RPG yang lebih kental dengan membawa pertempuran hero sebagai fokus utama. Tidak lagi harus dipusingkan dengan strategi membangun unit, gamer kini dibawa dalam mode PvP yang cepat, intens, dan pastinya – memacu adrenalin. Berfokus membangun karakter dengan perannya masing-masing dan memainkan peran terbaik dalam pertempuran tim, DOTA bahkan diakui sebagai salah satu game kompetitif yang seringkali dipertandingkan di kancah internasional. Tidak salah jika Valve tertarik untuk mengakuisisi nama yang satu ini.



     Memasuki proses beta dan berhasil menjaring ratusan ribu gamer selama proses ini, Valve akhirnya siap untuk keluar dari fase yang satu ini. Setahun sejak rilis betanya, Valve akhirnya secara resmi merilis DOTA 2 secara bebas kepada publik. Sembari memastikan proses peralihan ini tidak akan mengganggu pengalaman mereka yang sudah masuk ke dalam masa beta, DOTA 2 akhirnya terbuka bagi setiap gamer lewat sistem F2P yang ia usung.

     Mengingat masa beta yang sudah berakhir dan eksistensinya sebagai sebuah game resmi yang terbuka secara komersil, ini menjadi momen yang tepat bagi ane untuk melemparkan beberapa impresi yang sempat kami tangkap, tentu saja – selama setahun terakhir ini. Apa saja yang berubah? Menjadi lebih baik atau lebih buruk? Atau ia masih belum mampu menundukkan popularitas DOTA pertama?

Beradaptasi dengan Sisi Visual yang Baru



     Perombakan di sisi visual tampil tak ubahnya pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan kualitas grafis yang lebih modern mengikuti perkembangan zaman. Namun di sisi lain, gamer dituntut untuk kembali beradaptasi dengan animasi gerak dan skill yang tentu saja krusial dalam pertempuran.

     Walaupun hadir dengan model karakter yang jauh berbeda dengan lebih halus, Anda tetap dapat menemukan beberapa ciri utama karakter yang tetap dipertahankan dari seri pertamanya. Konsep ini mempermudah para gamer DOTA pertama untuk menyesuaikan diri dengan cepat, terutama mereka yang belum familiar dengan desain baru hero yang ada. Tidak hanya dari model karakter, Valve juga menyuntikkan nama yang lebih “umum” untuk mencegah permasalahan lebih jauh.

     Perubahan visualisasi ini juga diterapkan untuk beragam desain item dan persenjataan yang ditawarkan di toko. Memang butuh waktu lebih lama bagi para gamer pendatang baru ataupun mereka yang sempat mencicipi DOTA pertama untuk menguasai aspek ini lebih dalam. Tidak hanya sekedar mempelajari desain item dan resep yang untungnya, sedikit terbantu dari penjelasan yang tetap disertakan ketika Anda melakukan hover di setiap item yang ada, Anda juga mulai harus menghafal kembali lokasi item yang kini ditempatkan dalam pengakategorian yang berbeda. Setiap hero juga akan hadir dengan rekomendasi item untuk memaksimalkan kemampuan terbaiknya, membantu para pendatang baru untuk lebih dapat menguasai game ini dengan lebih cepat.



     Walaupun perubahan desain model tiap karakter cukup berbeda dibandingkan seri pertama, Valve dan IceFrog tetap mempertahankan ciri-ciri utama yang familiar.



     Animasi yang berbeda juga menuntut Anda untuk kembali menyesuaikan timing dalam pertempuran.

     Perubahan visualisasi berarti juga berpengaruh langsung pada animasi gerak setiap karakter yang ada. Tidak berpengaruh besar bagi para pemain DOTA yang baru, namun perubahan animasi ini akan memaksa para pemain veteran untuk menyesuaikan ritme gameplay kembali. Sementara mereka yang tumbuh besar bersama dengan game MOBA yang lain, DOTA 2 mungkin akan terasa lebih lambat. Mengapa animasi sangat signifikan? Karena animasi gerak dan serangan akan sangat menentukan seberapa baik Anda tampil dalam DOTA 2. Anda menjadikanya sebagai pondasi untuk melakukan creeping yang efektif dan tentu saja, melakukan kombinasi skill yang lebih mumpuni.


     Valve mungkin menyempurnakan sisi visual untuk DOTA 2 untuk memastikan seri ini mampu tampil dengan teknologi dan kualitas yang lebih terkini. Namun di sisi lain, kehadiran fitur ini tentu saja memaksa gamer untuk melakukan beberapa penyesuaian penting – terutama mereka yang sempat mencicipi DOTA pertama. Sementara bagi para pendatang baru di genre MOBA dan menjadikan DOTA 2 sebagai pilihan pertama dan hadir tanpa pengetahuan, perubahan di sisi visual ini tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan.

Komunitas yang Tetap Tidak “Bersahabat”



     Terlepas dari beragam klaim yang sempat diutarakan Valve, DOTA 2 bukanlah rumah yang “bersahabat” untuk para gamer pendatang baru.

     Apa yang membuat sebuah game MOBA sekelas DOTA seperti ini sulit untuk menjaring para pemain baru yang memang belum pernah mencicipi genre ini sebelumnya? Ironis memang, namun tanggung jawab terbesar justru terletak di pundak komunitasnya sendiri. Valve memang tidak segan mengklaim bahwa DOTA 2 saat ini merupakan game dengan komunitas terbesar di Steam, namun di sisi lain, fakta ini menjadi pedang bermata dua. Popularitasnya yang begitu masif mungkin akan menarik hati para gamer yang belum pernah menjajal MOBA sebelumnya. Namun alih-alih menyambut mereka dengan tangan terbuka, komunitas DOTA 2 harus diakui, bukanlah komunitas yang “sebaik” itu,

     Anonimitas dalam dunia maya dipadukan dengan mekanik gameplay yang memang sangat bergantung pada team-play dan performa individu setiap anggota, DOTA 2 akan menjadi rumah yang sangat tidak nyaman untuk para gamer pendatang baru. Valve sendiri memang sudah menyuntikkan mode tutorial dan “bot” untuk membantu gamer mendapatkan atmosfer pertempuran yang tepat, namun sayangnya – tidak cukup kuat untuk merepresentasikan kondisi pertarungan ketika berhadapan dengan user yang lain. Ketika para pendatang baru seringkali mati atau tidak memberikan kontribusi signifikan dalam pertempuran, maka beragam makian dan berbagai kalimat merendahkan akan meluncur dengan begitu mudah di layar kaca Anda. “Noob”, “Stupid”, hingga beberapa kata yang lebih kasar menjadi pemandangan yang tidak asing lagi.



“Noob” akan menjadi kata yang paling sering Anda temukan. Harus diakui, DOTA 2 bukanlah komunitas yang terhitung “ramah” untuk pendatang baru.



     Valve memang menyuntikkan mekanisme reward dan punishment untuk “menyelesaikan” masalah ini. Sayanngya, tidak seefektif yang dibayangkan.

     Beberapa gamer mungkin melihat agresivitas dan tingkah laku seperti ini sebagai bumbu kompetisi yang akan membuat adrenalin kian terpompa kencang. Namun sudut pandang seperti ini ternyata tidak sejalan dengan apa yang diinginkan Valve sendiri. Untuk memastikan komunitas yang lebih sehat dan bersahabat – mereka menerapkan sistem reward dan punishment berdasarkan vote dan laporan dari gamer yang berpartisipasi dalam pertempuran. Anda bisa memuji dan memberikan point tertentu ketika Anda merasa bahwa anggota tim Anda berhasil memperlihatkan kualitas gameplay tertentu, atau Anda juga bisa memberikan poin negative dalam kategori tertentu sebagai bentuk punishment bagi para gamer yang kasar, abusive, dan dengan sengaja tampil buruk dalam permainan. Konsekuensi bagi mereka? Valve akan memberikan penalti dalam kurun waktu tertentu yang akan membuat proses pencarian otomatis jauh lebih lama dan panjang dibandingkan dengan para peman dalam kondisi normal.

     Sayangnya, mekanisme seperti ini tidak terlihat efektif untuk mejaring dan melahirkan komunitas yang lebih sehat. Valve memang sempat mengklaim bahwa jumlah laporan dari para gamer kian menurun seiring dengan progress masa beta ini. Namun Valve sendiri tampaknya lupa, bahwa penurunan ini tidak selamanya berarti bahwa komunitas DOTA 2 semakin sehat. Tidak tertutup kemungkinan bahwa laporan seperti ini menurun drastis karena komunitas sendiri mulai menerima kondisi komunitas DOTA 2 yang tidak bersahabat atau melihat laporan yang mereka lontarkan memang tidak seefektif yang dibayangkan.




Komentar

Postingan populer dari blog ini